Kamis, 28 Januari 2010

sambutlah!

insyaallah segera datang. sebuah buku yang lahir karena kerinduan, karena luapan rasa cinta, karena rasa persaudaraan

dalam dekapan ukhuwah

Kamis, 04 Desember 2008

Tergerak di Titik Balik

Satu teriakan perlawanan, bukan ketakutan
Satu suara dalam kegelapan, satu ketukan pada pintu
Dan sebuah dunia yang menggemakannya bertalu-talu
-Henry Wardsworth Longfellow, Revere-

Tidak pernah terjadi dalam sejarah, para panglima pasukan musuh, seluruhnya masuk ke dalam agama penakluknya. Kecuali peristiwa yang indah itu; Fathul Makkah. Dan wanita ini ambil bagian dalam kancah itu, dengan sebuah perjalanan yang sulit, dengan cinta yang rumit, dengan mengalahkan dendam yang pahit.
Namanya Ummu Hakim binti Al Harits. Di lahir, tumbuh, dan merenda masa depan di tengah keluarga yang paling dahsyat permusuhannya terhadap da’wah Rasulullah, Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Ayahnya, Harits ibn Hisyam, hingga ajal menjemput tak henti memusuhi Sang Nabi. Paman, sekaligus mertuanya adalah Abu Jahl ibn Hisyam, Fir’aun-nya ummat ini. Dan harus kita sebut nama suaminya, ‘Ikrimah ibn Abi Jahl, panglima Makkah yang paling ganas dan ditakuti setelah Khalid ibn Al Walid.
Hari itu adalah hari takluknya Makkah. Nama suaminya berada di deret atas daftar pencarian pasukan Rasulullah. Untuk dibunuh. Karena permusuhan sengitnya yang tak kunjung henti, karena keganasannya dalam menyiksa kaum beriman. Juga demi pemusnahan dendam kesumat dan darah kejahatan yang mengalir dalam dirinya; darah Abu Jahl. Sebuah nama yang mendenging di telinga kaum muslimin sebagai pembantai orang beriman, penganiaya mukmin lemah, pengobar kebencian, permusuhan, dan peperangan.
Dia berharap hari itu suaminya akan memenuhi ajakan Khalid ibn Al Walid yang membawa pesan padanya, ”Masuklah Islam, engkau akan selamat!” Ya, masuk Islam saja. Atau setidaknya berpura-pura. Tapi jawaban ’Ikrimah sungguh menggiriskan hatinya. ”Andaikan di muka bumi ini tak tersisa lagi selain diriku, aku tetap takkan mengikuti Muhammad selama-lamanya!” Keras kepala! Keras kepala! Persis seperti ayahnya yang memilih kehancuran daripada kebenaran ketika berdoa, ”Ya Allah jika apa yang dibawa Muhammad itu memang benar dari sisiMu, hujani saja kami dengan batu dari langit!”
Detik itu juga Ummu Hakim menyaksikan suaminya berkemas. Ia tak bertanya. Ia akan tahu nanti bahwa lelaki yang dicintainya itu pergi ke Yaman. Kini hatinya yang dirundung duka, dendam, dan lara itu itu harus ditata lebih dahulu. Mari kita bayangkan seorang wanita yang tumbuh di tengah ayah, mertua, suami dan keluarga besar yang paling sengit memerangi da’wah. Mencaci-maki Muhammad dan mencelanya sudah bagai ritual agama dalam rumahtangga dan keluarga besarnya.
Tentu ada dua kemungkinan tentang jiwanya sejak lama. Pertama, jika ia bersimpati pada Muhammad dan diam-diam beriman, atau setidaknya mendukung dalam hati. Tentu masa berpuluh tahun ini bukan masa yang mudah untuk dilaluinya. Ia harus menyembunyikan perasaan kagum dan dukungannya dari seluruh keluarga yang kompak menyanyikan koor permusuhan. Pahit sekali. Pahit sekali mendengar lelaki berakhlaq mulia, yang datang dengan segala kebaikan bagi Quraisy itu dihina dan direndahkan di telinganya. Atau kadang mungkin ia ditegur, ”Mengapa kau tak ikut mencela Muhammad?”
Atau kemungkinan kedua. Bahwa ia tak beda dengan suami, ayah, mertua atau pamannya. Seorang yang tumbuh dengan kebencian tak terperikan pada Islam. Pada Muhammad. Maka saat yang paling sulit dan rumit itu adalah sekarang. Ketika mertuanya yang perkasa, Abu Jahl telah lama gugur di Badar dengan meninggalkan luka di hati suaminya, dan di hatinya. Luka itu belum kering. Dendam itu masih menyala. Kini, ketika Muhammad datang bersama sepuluh ribu bala tentaranya. Ketika seluruh wangsa Quraisy harus tertunduk malu kepadanya di depan Ka’bah. Si yatim, si miskin, si santun itu kini memegang kendali nasib mereka. Maka, bagaimanakah perasaannya?

ia telah mengalami
apa yang mungkin dialami bumi ini
di saat ia terburai memanjang oleh mata bajak
sehingga bulir-bulir gandum bisa disemaikan
-Victor Hugo, Les Miserables-

Kita tak tahu keterangan pasti, bagaimana sebenarnya keadaan hatinya sejak semula. Yang jelas, saat ini dia akan melakukan sebuah hal besar yang melampaui segala perasaan itu. Hatinya yang kukuh –mungkin khas klan Bani Makhzum- menggerakkannya untuk menemui Rasulullah. Dan di hadapan beliau dia meminta satu hal yang menurut perkiraannya tak mungkin dipenuhi. Jaminan keamanan dari beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam untuk suaminya.
Sepertinya tak mungkin. Tapi apa salahnya berharap pada Allah Yang Maha Kuasa tentang seorang yang begitu damai memberikan pengampunan umum atas Quraisy hari itu. Muhammad seorang pemaaf, bukan pendendam. Meski suaminya ada di daftar atas para buronan, apa salahnya mencoba?
Dan Rasulullah memang menjawab, ”Ya.”
Bahkan Ummu Hakim pun terkejut menyaksikan begitu mudahnya jawaban itu keluar dari bibir sang manusia mulia. Dan diiringi senyum yang sangat manis, sangat damai. Tiba-tiba tubuhnya serasa ringan, hatinya lapang. Ia kini tak ragu bahwa Islam adalah pilihan hidup untuknya, dan untuk suaminya. ”Ah..”, gumam Ummu Hakim. Tapi ini baru langkah pertama. Meminta kepada Rasulullah jauh lebih mudah daripada membujuk suaminya. Dan untuk menemui lelaki itu pun bukan hal ringan. Ke Yaman. Ke Yaman yang jauh dengan perjalanan berbahaya, melintasi gurun kosong yang tak aman dari hewan buas dan manusia beringas. Ke sana ia harus menuju, menyusul lelaki gagah yang keras hati itu.
Berbahagialah mereka yang digerakkan oleh cinta kepada hidayah..
♥♥♥

“Saya menemukan satu jenis hasil ekskresi yang tidak menimbulkan rasa jijik”, tulis Kazuo Murakami dalam The Divine Message of The DNA. Ya, sekawan ia dengan keringat, urine, lendir, juga –maaf- tinja. Tetapi apa yang kita rasakan saat melihat yang satu ini; air mata? Sangat berbeda dengan yang lain. Kilaunya justru memukau. “Walau saya tak mengerti”, kata Murakami, “Bagaimana emosi kita terinspirasi dalam benak, saya tahu bahwa saat saya tergerak hingga menangis, hati saya terasa dibersihkan dan tidak ada tempat lagi di dalamnya bagi kebencian maupun kemarahan.”
Dan itulah yang terjadi pada ’Ikrimah. Dia juga tak dapat menahan air mata, melihat kilau-kemilau di mata isterinya. Ia memang hanya setengah percaya pada pesan yang dibawa wanita tegar ini. Muhammad mengampuninya? Agak sulit menerima itu. Ia hanya setengah percaya pada pesan ini. Tapi ia sepenuhnya percaya pada selaksa kesulitan yang ditempuh Ummu Hakim untuk bisa menemuinya di Yaman. Ia percaya pada ketulusan wanita ini. Ia percaya pada cintanya. Ia tergerak di titik balik kehidupan, ketika semua yang dimilikinya terasa berantakan.
Berbahagialah mereka yang digerakkan oleh cinta kepada hidayah..
Nun di Makkah sana, Sang Nabi tiba-tiba bersabda kepada shahabat-shahabatnya. ”Sebentar lagi ’Ikrimah ibn Abi Jahl akan datang ke tengah kita sebagai seorang mukmin yang berhijrah”, katanya, ”Maka kuminta kepada kalian untuk menghentikan semua celaan dan cacian kepada ayahnya!” Ya, mencaci dan mencela Abu Jahl selama ini seolah telah menjadi bagian dari kehidupan seorang muslim. Tak pernah ada sesosok manusia yang kebengisannya kepada da’wah melebihi Abu Jahl, dan tak pernah ada sesosok manusia yang dibenci melebihi dirinya. Tapi kini Sang Nabi, yang pernah dijeratnya dengan selendang, yang pernah ditimpuknya dengan isi perut unta, yang berkali-kali nyaris dibunuhnya meminta mereka untuk menyambut putera si musuh Allah dengan cinta sebagai saudara seiman. Tidak membenci, mungkin. Tapi mencintai? Memaafkan, mungkin. Tapi melupakan?
Di luar dugaan para shahabat, Sang Nabi memberi mereka pelajaran lebih jauh. Sosok agung itu melompat dari duduknya, bergegas maju menyambut, menjabat, dan memeluk ’Ikrimah! Sementara putera musuh Allah itu terbengong takjub.
”Ya Muhammad! Aku mendengar dari wanita ini bahwa engkau memberikan jaminan keamanan untukku. Benarkah itu?”
Ah.. dengarlah, dia masih menyebut isterinya dengan ’wanita ini’. Dan bahkan ia menanyakan jaminan keamanan terlebih dahulu sebelum menyatakan diri berislam.
”Benar. Engkau aman wahai ’Ikrimah..”
Maka ’Ikrimah pun masuk Islam, berislam dengan sempurna, dan menebus dirinya kepada Allah dengan syahid di Perang Yamamah. Dan tahukah kalian para shahabatku di jalan cinta para pejuang, bahwa baru sejak saat itulah, sejak suaminya masuk Islam Ummu Hakim merasa cintanya pada suami berbalas ketulusan yang sama? Berbahagialah mereka yang digerakkan oleh cinta kepada hidayah. Berbahagialah ’Ikrimah yang digerakkan cinta kepada hidayah. Berbahagialah Ummu Hakim yang digerakkan hidayah kepada cinta..
Di jalan cinta pejuang, bahkan hal kecil seperti air mata yang bening, bisa menjadi sebuah gairah yang menggerakkan manusia, mengubah dunia..

Kalau cinta sudah terurai jadi laku,
cinta itu sempurna seperti pohon iman;
akarnya terhunjam dalam hati,
batangnya tegak dalam kata,
buahnya menjumbai dalam laku.
-M. Anis Matta-

-Salim A. Fillah, Jalan Cinta Para Pejuang 205-211-

..diposting atas permintaan seorang Akh; dalam rangka berbaiksangka atas sebuah narasi besar bernama REKONSILIASI..

Mengetuk Pintu Paksa

saat aku lelah menulis dan membaca
di atas buku-buku kuletakkan kepala
dan saat pipiku menyentuh sampulnya
hatiku tersengat
kewajibanku masih berjebah,
bagaimana mungkin aku bisa beristirahat?
-Imam An Nawawi-


”Aku merasa bagai hewan sembelihan”, tulis seorang pemuda yang kelak menyejarah, ”Yang digiring ke padang penjagalan.” Itulah yang dirasakannya ketika Sultan Nuruddin Mahmud Zanki memerintahkannya menyertai sang paman mempertahankan Mesir dari serbuan Amalric, Raja Yerusalem di tahun 1164. ”Seakan jantungku ditoreh belati”, ia melanjutkan penuturannya sebagaimana direkam oleh sejarawan Ibnu Syaddad dalam karyanya Al Mahasin Al Yusufiyyah. ”Dan ketika itu aku menjawab: Demi Allah, bahkan seandainya aku diberi seluruh kerajaan Mesir, aku takkan berangkat!”

Pemuda ini begitu membenci pertempuran, ngeri membayangkan darah, bergidik melihat luka, dan tak tega mendengar jerit kesakitan. Ia tenggelam dalam keasyikan akan hobi-hobinya. Ia suka bermain bola. Ia gemar bertamasya dengan kuda anggunnya. Ia fasih bersyair. Ia ganteng dan flamboyan. Ia melankolik. Ia sensitif. Ia gampang menitikkan air mata oleh hal-hal sepele. Ia sakit-sakitan. Semua kondisi dan perjalanan masa mudanya membuat banyak sejarawan enggan menuliskan pertiga awal hidup pemuda ini. Menurut para sejarawan itu, kisah masa mudanya akan membuat keseluruhan sejarah hidupnya ternoda.

Pendapat para sejarawan ini dibantah Dr. Majid ’Irsan Al Kilani dalam disertasinya, Hakadza Zhahara Jiilu Shalahiddin. Menurutnya, mengisahkan masa mudanya akan menampakkan betapa Islam memang bisa mengubah sesosok pribadi lembek menjadi pribadi pejuang. Bahwa celupan Ilahiyah memang mampu menyusun ulang komposisi jiwa seseorang. Seorang pengecut bisa menjadi pemberani. Seorang pecundang di masa lalu, tak kehilangan peluang menjadi pahlawan di masa depan.

Inilah jalan cinta para pejuang. Sungguh hidayah Allah itu diberikanNya pada siapapun yang dikehendakiNya. Maka di jalan cinta para pejuang, kita tak boleh memandang tinggi diri dan merendahkan orang lain, apalagi menyangkut masa lalu.

Kembali pada pemuda yang menarik hati ini. Sejak tahun 1164 itu memang hidupnya berubah. Dulu ia membayangkan semua hal dalam pertempuran sebagai kengerian belaka. Tetapi begitu Sultan Nuruddin dan sang paman, Asaduddin Syirkuh, memaksanya terjun ke kancah jihad, ia terperangah. Meski kengerian itu tetap, ia menemukan banyak keindahan. Persaudaraan. Pengorbanan. Rasa dekat dengan maut. Kekhusyu’an. Kenikmatan ibadah. Keberanian. Kepahlawanan. Dulu ia membayangkan. Kini ia ’dipaksa’ merasakan. Akhirnya, ia menemukan gairah yang begitu menggelora untuk membebaskan kiblat pertama ummat Islam, Al Quds, dari penjajahan Salib. Hidupnya tak pernah sama lagi.

Setiap debu yang menempel di jubahnya dalam jihad dari tahun 1164 hingga wafatnya, 1193, ditapisnya dan dihimpun. Ia berwasiat agar debu-debu itu dijadikan bulatan-bulatan tanah pengganjal jasadnya di liang kubur. Ia berharap debu-debu itu menjadi saksi baginya nanti di hadapan Allah. Semoga Allah memuliakannya. Pemuda itu bernama Yusuf. Tapi kelak kita memanggilnya Shalahuddin Al Ayyubi.

♥♥♥


Paksaan. Adakah ia menjadi salah satu tabiat dari jalan cinta para pejuang? Tentu saja bukan. Kecuali dalam tanda kutip. Di dalam tanda kutip itulah paksaan menjadi sebuah kepahlawanan. Ia serupa sebuah pertempuran melawan ego dan nafsu diri. Awal-awal, bisa jadi seseorang dipaksa lingkungan. Lalu ia memaksa diri. Awal-awal jiwanya payah, jasadnya lelah. Lalu terbiasa. Lalu terasa nikmat. Lalu ia mengaca, menghayati kembali makna keikhlasan. Begitulah jalan cinta para pejuang, kepayahan dan keindahannya tak berujung.

Tetapi bukankah memang dalam kehidupan ini banyak yang harus kita jalani melalui lorong keharusan? Ada ibadah wajib. Ada keharusan dalam tiap peran kita sebagai pribadi, sebagai suami, sebagai ayah, sebagai warga. Semua kewajiban itu kita jalani agar kita selamat sampai ke surga Allah. Dan di jalan cinta para pejuang, perlu dipasang pintu tambahan agar kita lebih cepat sampai ke tujuan itu. Itulah pintu pemaksaan.

Pintu pemaksa Shalahuddin mewujud di bumi sebagai Sultan Nuruddin dan Asaduddin Syirkuh. Apa jadinya jika pintu pemaksa itu turun langsung dari langit? Muhammad, insan terpilih itu merasakan kengeriannya. Bukan karena keengganan. Tapi siapa yang mampu menepis rasa lemah dan tak mampu ketika ditimbuni tugas untuk mengubah wajah bumi yang coreng-moreng? Di Gua Hira, ia Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam dipaksa membaca. “Aku tak bisa membaca”, katanya memohon belas.

Tetapi Jibril terus memaksanya, mendesaknya. ”Bacalah!” Jibril mendekapnya hingga ia nyaris kehilangan nafas. Saat dadanya telah sesak, nafasnya teperkosa, dan rasa takut membuat jantungnya seakan naik ke tenggorokan, Jibril lalu melepasnya.

”Bacalah!”

Terengah, dengan merinding, keringat menderas, dan wajah pias pasi ia menjawab lagi, ”Aku tidak bisa membaca.”

Lalu Jibril membimbingnya.”Bacalah dengan asma Rabbmu yang telah mencipta. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmu Yang Paling Pemurah. Yang mengajar dengan pena. Ia ajarkan pada manusia apa-apa yang belum diketahuinya.”

Muhammad Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam mencoba mengeja. Dengan getar mengharu biru, dengan perasaan tercekam, dengan keringat yang terasa bagai lelehan salju di kulitnya yang memucat. Ia menirukan bacaan itu. Jibril telah memaksanya. Dan bermula dari paksaan itulah dia memenuhi takdir kesejarahannya untuk mengubah dunia. Pulang dari Gua Hira’ raganya bagai melayang tapi terantuk-antuk saat berjalan. Terasa ringan, seolah melarikan diri dari kejaran. Tapi sekaligus serasa tak ke mana-mana; bumi dan isinya telah dipikulkan ke pundaknya. Maka ia hanya menjejak-jejak, tersaruk-saruk meniti beban yang ditanggung punggung.

Pucatnya belum hilang. Keringatnya bertambah banjir. ”Zammilunii! Selimuti aku! Selimuti aku!” Khadijah tanpa banyak tanya mengembangkan kemul, mendekapkannya ke tubuh mengigil itu. Ditatapnya lelaki baik hati yang telah 15 tahun mengisi hidupnya itu. Dengan tatapan percaya. Dengan bening yang menghadirkan tenang. Dengan senyum yang menguatkan.

Beberapa hari setelahnya, demikian Imam Al Bukhari meriwayatkan, Sang Nabi sedang berjalan. Tiba-tiba sosok yang menemuinya di Gua Hira’ itu tampak, sedang duduk di atas sebuah singgasana yang menyemanyam di antara langit dan bumi.”Aku mendekatinya”, kata Sang Nabi, ”Lalu tiba-tiba aku terjerembab menyerusuk ke tanah. Aku ketakutan lagi. Aku mencoba bangkit dan berlari. Hingga terdengar seruan berulang-ulang, ”Ya Muhammad, aku Jibril.. Dan engkau Rasulullah!”

Sang Nabi kembali pulang dengan gigil yang makin mengkhawatirkan Khadijah. Diselimutinya penuh kasih. Disapunya dahi yang digenangi keringat dengan jemari lembut, dikecupnya dengan senyum yang tulus dan memejam mata. Dihiburnya penuh cinta. ”Sungguh engkau adalah seorang yang selalu menyambung silaturrahim, tempat bergantung anak-anak yatim, dan penyantun orang-orang miskin. Demi Allah, Dia takkan pernah menyia-nyiakan engkau.”

Saat itulah, paksaan kembali hadir. Ia yang menjingkrung hangat di dalam selimut disentak wahyu. Ia menggigil lagi, bersimbah dingin yang merembes dari pori-pori. Wahyu itu, Surat Al Mudatstsir, menyengatnya dengan kalimat-kalimat perintah. Bergemerincing memekakkan. Pendek-pendek. Tegas. Jelas. ”Hai orang yang berselimut! Bangunlah, lalu berikan peringatan! Dan Rabbmu agungkanlah! Dan pakaianmu sucikanlah! Dan dosa-dosa tinggalkanlah! Dan janganlah kau memberi dengan maksud mendapat yang lebih banyak!”

Maka senarai pemaksaan itu semakin panjang dengan penegasan di rangkaian ayat yang juga membangunkannya dari kehangatan selimut lembut, Surat Al Muzammil. ”Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat”, begitu firmanNya di ayat kelima. Maka dimulailah sebuah proses panjang yang melelahkan pada diri Sang Nabi untuk mengubah dunia. Kata ’paksa’ tentu bermakna bahwa beliau, Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam menjalani segala itu bukan dengan leha beruncang kaki, tapi dengan berlelah-lelah. Payah. Bangun untuk shalat di malam hari. Berjalan kian kemari di siang hari, menyeru kerabatnya, menyeru kaumnya.

Dalam lelah itu, bertambah-tambah beban yang harus ditanggungnya. Bertimpuk-timpuk umpatan, ejekan, dan disebut gila. Iming-iming, intimidasi, dan fitnah. Guyuran isi lambung unta saat sujudnya. Duri-duri yang ditebar sepanjang pias. Pernah juga ia berdarah-darah dikejar orang, dilempar batu, disrimpung kayu, direcok senjata. Tapi ada lagi yang lebih menyesakkannya. Saat ia menyaksikan sahabat-sahabat yang dalam imannya harus disiksa, dipanggang dengan salib di pasir menyala, dan dibunuh.

Dari Shalahuddin, dari Sang Nabi, kita belajar tentang salah satu jalan untuk meretas keberhasilan. Jalan pemaksaan diri dalam maknanya yang positif. Sunnah kehidupan menegaskan adanya pintu keharusan dan pemaksaan. Bagi mereka yang secara sadar memilihnya, ada lompatan yang mengantar mereka pada mutu diri yang lebih tinggi. Berbuka terasa nikmat karena kita berpuasa. Yang manis terasa lebih menggigit karena kepahitan telah kita telan. ”Mawar merekah indah”, kata Jalaluddin Ar Rumi, ”Karena awan-awan merelakan diri jatuh ke bumi.”

Maka begitulah, jalan cinta para pejuang memiliki tabiat berlelah-lelah. Ada yang membuat kita harus memaksa diri. Goda kantuk di saat kewajiban bertumpuk. Ranjang yang hangat, isteri yang cantik, selimut yang lembut, dan dingin yang bersiraja di luar sana. Bagaimanapun, ini adalah pilihan bagi mereka yang memiliki keberanian. Ada istilah eustress. Eustress, kata Stephen R. Covey dalam The 8th Habit, adalah sesuatu yang mendesak kita, yang berasal dari keinginan untuk hidup bermakna.

Banyak orang menyamakan disiplin dan memaksa diri dengan tiadanya kebebasan. Kata mereka, ”Keharusan membunuh spontanitas. Tak ada kebebasan dalam keharusan. Saya ingin melakukan apa yang saya inginkan. Itulah kebebasan, bukan tugas.” Pada kenyatannya sebaliknyalah yang benar. Hanya orang-orang yang berdisiplinlah yang benar-benar bebas. Orang-orang yang tidak disiplin adalah budak dari suasana hatinya, budak kesenangan, dan nafsu-nafsunya.

Allah mengaruniai kita dua daya; untuk berbuat durhaka dan berbuat taqwa. Untuk menjadi jahat, dan untuk menjadi baik. Seringkali, daya yang kita butuhkan untuk meniti kebaikan sama besarnya dengan daya yang kita hajatkan untuk mengelak dari keburukan. Bahkan mungkin lebih berat, jika kita pertimbangkan goda dari luar diri kita. Ada isteri, anak, dan harta yang tidak berkah hingga menjadi fitnah, -Na’udzu billaahi min dzalik-. Ada syaithan dari jin dan manusia. Mereka berseliput di seputar kita, tak rela kita menjadi baik, tak ingin kita mukti dan mulia. Maka melawan mereka –dengan bijak hati dan keikhlasan tertinggi- adalah pintu pemaksa lain yang harus kita ketuk.

Di jalan cinta para pejuang, kita ucapkan ”Laa haulaa wa laa quwwata illaa billaah.. Tiada daya untuk taat, dan tiada kekuatan untuk menjauhi maksiat kecuali dengan pertolongan Allah.” Dan sesudah mengucapkannya, kita harus memaksa diri melangkahkan kaki di jalan cinta para pejuang. Walau terantuk, walau tersaruk, walau terhuyung. Walau kadang limbung digalut bingung..


kekhawatiran tak menjadikan bahayanya membesar
hanya dirimu yang mengerdil
tenanglah, semata karena Allah bersamamu
maka tugasmu hanya berikhtiyar
dan di sana pahala surga menantimu

Kembalilah, Meski Tangan yang Menggandengmu Ternoda

ada yang mengganjal di antara kita
dan kita dapati bahwa memaafkan
lebih mudah daripada melupakan

***

tapi yang ingin kita dahulukan
kembalilah, meski tangan yang menggandengmu ini ternoda
semoga kita temukan di sana mata air untuk membasuhnya
dan engkaulah yang akan mengguyurkan air itu untukku

***

jangan lagi kita saling melukai
dengan tanyaku
dengan diammu
dengan maksud baikku yang kupaksakan
dengan maksud baikmu yang tak bersegera

***

di kawanan ini memang ada serigala berbulu domba
seperti aku yang berjuang
membunuh jiwa hyena dalam diriku

***

tapi menyendiri tetaplah lebih dikhawatirkan
karena tanpa kawan adalah mangsa syaithan
dan bukankah itu telah kau rasakan
dalam perosok lubang yang berulang-ulang?

***

ya Rabbi, sesungguhnya Engkau Sang Pengampun
dan Kau cintakan ampunan
maka ampunilah kami
jadikanlah kami sebagai hati-hati sejati
yang telah berhimpun di atas cintaMu
dan berjumpa untuk mentaatiMu
bersatu di atas da’wah padaMu
dan berjanji setia untuk menolong syari’atMu
maka kuatkanlah ikatannya
abadikanlah cintanya
dan tunjukilah jalan-jalannya
penuhilah dengan nuur cahayaMu yang tiada redup
lapangkanlah dadanya dengan limpahan iman
dan indahnya tawakkal padaMu
hidupkanlah dengan mengenalMu
matikanlah sebagai syahid di jalanMu
matikanlah sebagai syahid di jalanMu
matikanlah sebagai syahid di jalanMu
Engkaulah Pelindung dan Pembela..

Mengenali Kesalahan dan Kelemahan Diri Sendiri

“……maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci, Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS 53:32).

Mengetahui dan menyadari kesalahan adalah awal kebaikan. Sementara merasa benar terus adalah awal dari kehancuran. Kesalahan memang merupakan tabiat manusia, namun tidaklah bijaksana bila kita terus menerus melanggengkan kesalahan apalagi mewariskannya kepada binaan-binaan atau anak-anak kita. Surat An-Nisa ayat 9 mengingatkan kita bahwa ada keterkaitan yang erat antara kuat atau lemahnya generasi penerus dengan ketakwaan dan kebenaran ucapan orang tua atau pembina. Oleh karena itu sepantasnyalah kita selalu mawas diri jangan sampai kita mewariskan keburukan kepada penerus-penerus kita.

Hendaklah kita menjadi pribadi yang malu bila berbuat salah. Malu kepada Allah dan malu kepada orang-orang beriman. Tidak cukup sekadar mengetahui bahwa diri kita salah, tetapi kita begitu manja meminta permakluman dari Allah yang Maha Pengampun dan Maha Penerima Tobat. Yang harus kita lakukan bukan hanya menjauhi kesalahan-kesalahan yang besar dan fatal tetapi juga berusaha menghindarkan diri dari kekeliruan-kekeliruan kecil. Sebab apapun bentuknya bila kita sadar melakukan kesalahan tetap saja itu merupakan dosa.

Siapa pun kita pasti pernah terjatuh pada kesalahan. Tugas kita adalah memohon ampun dan bertobat kepada Allah. Untuk kesalahan pada sesama manusia tentu saja kita harus meminta maaf lebih dulu kepada mereka. Jangan gengsi untuk mengakui kesalahan. Jangan sampai kita berbohong untuk membela kesalahan kita. Apalagi kita berargumen untuk membela kesalahan tersebut dan meminta orang lain menganggap bahwa kesalahan kita adalah kebenaran, na’udzubillahi min dzalik

Allah paling mengetahui tentang diri kita dan melebihi pengetahuan kita. Maka janganlah kita merasa diri kita bersih dan merasa diri paling benar. Kalaupun kita benar dan orang lain salah kita tidak boleh melecehkan kesalahannya. Kalau kita tidak ingin aib kita dibuka orang lain maka jangan buka aib orang lain. Meluruskan diri sendiri dan orang lain tidak perlu dengan cara membuka aib. Cukuplah kita meminta ampun kepada Allah dan melakukan langkah-langkah perbaikan yang lebih menjaga kehormatan diri dan orang lain. Terkadang ada orang yang karena kesalahannya terlanjur dibeberkan menjadi malu dan bersikap antipati, bukan hanya kepada yang membeberkan tetapi juga kepada wadah di mana si pembeber aib bernaung. “Janganlah karena engkau orang jadi benci terhadap Islam”(Al Hadits). Kebenaran harus diperjuangkan dengan cara yang benar pula, al ghaayah laa tubarrirul wasiilah (tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara).

Jadi masalahnya bukan tidak boleh mengungkap kesalahan orang lain, tapi bagaimana caranya agar pengungkapan itu tidak membawa dampak negative bagi yang bersangkutan: menghalanginya dari jalan Allah. Teruslah memperjuangkan kebenaran. Jantanlah mengakui kesalahan dan bijaksanalah dalam meluruskan kesalahan orang lain. Keberhasilan berawal dari kesadaran akan kesalahan, sehingga setiap pribadi senantiasa terus memperbaiki diri menuju kepada kesempurnaan. (2:208 3:134-135)

Ikhwan dan akhwat fillah. Sirah mencatat pengakuan seorang wanita Al Ghamidiyah yang telah terjatuh kepada perzinahan. Bukan hanya sekadar mengaku tetapi wanita tersebut ingin bertobat dan minta dirajam. Saat itu Rasulullah menyuruh wanita tersebut melahirkan dan menyusui dulu anak dari hasil perzinahan tersebut. Setelah si anak sudah disapih barulah dilaksanakan hukum rajam. Dalam peristiwa itu terucap dari lisan Rasul bahwa wanita tersebut dijamin masuk surga.

Hikmah yang bisa kita petik dari kisah di atas adalah betapa dengan pemahaman yang seadanya saja seseorang berani mengakui kesalahannya. Maka sepantasnyalah mereka yang memiliki pemahaman yang dalam lebih bersikap kesatria mengakui kesalahannya. Tidak cukup sekadar mengakui kesalahan tetapi harus dilanjutkan dengan tobat, kembali kepada kebenaran. Bila mengakui kesalahan tetapi tetap berkubang di kemaksiatan bagaikan kuda nil yang berkubang di lumpur kotor dan bau. Bertobat berarti mau membersihkan diri, bersedia dihukum dan siap melakukan hal-hal yang dapat menghapus kesalahannya. Rajam adalah salah satu bentuk hukuman sekaligus penyucian. Dan tentu saja harapan utama yang ingin dicapai adalah keridhaan Allah dan surganya. Bagi yang berwenang untuk melaksanakan hukuman tentu harus bijaksana sebagaimana Rasul. Jangan jijik dan sinis mengetahui kesalahan orang lain. Hantarkan kesalahan orang menuju kepada tobatnya. Mengantarkan si salah untuk meraih surga. Bukan membuat dia putus asa, mengurung diri atau, na’udzubillahi min dzalik, bunuh diri. Kalau kita ingin orang lain memaklumi kesalahan kita dan memberi kesempatan kita untuk berbenah diri maka kita juga harus mau memaklumi kesalahan orang lain dan memberinya kesempatan bertobat.

Berkenaan dengan sosialisasi penjatuhan sanksi seyogyanya ikhwan dan akhwat fillah memandangnya sebagai sarana bersuci. Inilah kesempatan untuk lebih menyelami arti haasibuu anfusakum qabla antuhaasabuu. Kita bahkan harus merasa dibantu oleh saudara-saudara kita lewat program tersebut. Tentunya program ini berlaku bagi semua. Tidak ada yang kebal hukum. Fatimah pun kalau mencuri pasti dipotong tangannya oleh Rasul. Maka di manapun posisi kita dalam kehidupan bermasyarakat atau dalam struktur kepartaian misalnya, kita harus berani mengakui kesalahan, dan tentu saja juga siap dikenakan sanksi. Namun jangan kaget bila ada orang yang kita hormati atau kita kagumi suatu ketika juga terkena sanksi. Itu manusiawi. Bahkan itu menunjukkan kematangan tokoh kita tersebut (mau mengakui kesalahannya). Semua benda yang tidak steril (bukan nabi) pasti berdebu, pasti punya salah dan dosa. Maka jangan kita biarkan debu itu melekat, mari sama-sama bersihkan dengan semangat bersuci diri, “sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya dan merugilah orang yang mengotorinya”(91: 9-10)

Betapa kita menyadari seringkali kita gagal untuk terus bertahan dalam kebaikan. Mungkin itu disebabkan karena kita terlalu menganggap remeh kesalahan atau terlalu memanjakan diri dengan sifat Allah yang Maha Pengampun. Dengan penjatuhan sanksi kita terbiasa untuk lebih waspada terhadap kesalahan. Hukuman manusia masih begitu ringan. Terkadang masih terbalut dengan rasa kasihan dan permakluman. Semoga dengan terbiasa menjaga diri agar terhindar dari penjatuhan sanksi insya Allah akan mengantarkan kita untuk terbiasa menghindari dosa agar selamat dari azab Allah nanti di yaumil akhir.


….maka barang siapa yang dijauhkan dari siksa neraka dan dimasukkan ke dalam surga sungguh sangat beruntunglah ia……(3:185)
pks-jogja.org
SOURCE: http://keyakinanhati.blog.friendster.com/2008/10/mengenali-kesalahan-dan-kelemahan-diri-sendiri/#comment-8

Saufa saufa....

Saufa saufa..
seringnya kukatakan itu
dengan hati yang tak yakin
Nanti.. Nanti..
jebakan syaithan yang menyuruhku
untuk menunda kebaikan

***

Saufa saufa..
seringnya kuhayati kekata ini
dengan mata terpejam
Jika.. Jika..
jebakan syaithan yang membuatku
merumitkan syarat
untuk melakukan keshalihan

***

Ya Allah
jangan jadikan masa laluku hampa
karena saufa..
jangan jadikan detik kiniku sia-sia
karena saufa..
dan jangan jadikan jam-jam di depan
penyesalan tak berkesudahan
karena saufa..

Salim A. Fillah

Kerinduan

di satu lepas maghrib aku rindu
pada saudara terkasihku
kukirim pesan padanya
“akhi, adakah tersisa kata untukku hari ini?”

***

dia menjawab, “doakan aku akh..”
kujawab, “selalu akhi, insyaallah. adakah kaupun mendoakan kami?”
“insyaallah”, jawabnya lagi.

***

aku tersadar telah melupakan sesuatu.
lalu bertanya lagi.
“adakah pinta khususmu,
yang kau ingin kami memohonkannya pada Allah untukmu?”
agak lama ia menjawab tanya kali ini.
lalu setelah isya’ tertunaikan..
“lembutkan hatiku. ampuni dosaku. perbaiki amalku.
aku merasa hati ini keras. keras sekali.”

***

malam kian larut.
menjelang istirahatku, sekaligus
mungkin juga saat ia sedang sibuk-sibuknya
aku mengatakan sesuatu
yang lebih tepat ditelunjukkan pada diriku

***

“ketika Sa’d ibn Abi Waqqash minta didoakan agar doanya mustajabah, Rasulullah bersabda kepadanya, ‘bantulah aku hai Sa’d, dengan memperbaiki makananmu!”
“ketika seorang sahabat lain minta didoakan agar bisa membersamai Sang Nabi di surga, beliau bersabda padanya, ‘bantulah aku dengan memperbanyak sujud!”
“akhi sayang.. doa kami jauuuh sekali bobotnya daripada doa Sang Nabi. hingga, jika beliau saja meminta agar para sahabat yang didoakan membantu doanya dengan ikhtiyar mereka, maka harapan kami akan ikhtiyar Ant berlipat-lipat akhi..”
“iya kan akhi?”
dengan gerimis, lalu kuhayati firman Allah yang kusampaikan padanya
“beramallah, -berikhtiyarlah-, maka Allah, Rasul, dan orang beriman akan melihat amal kalian”
“teriring doa kami selalu, semangat akhi!”


Salim A. Fillah